Kala Warga Menyelesaikan Sampah Makanan Bersama-sama


Selain nama baik dan beken macam kota kuliner/wisata/pendidikan, Bandung sejatinya juga punya punya nama tidak enak didengar dan tak sedap dipandang. Salah satunya adalah Kota Lautan Sampah — yang kemudian diperingati nasional tiap 21 Februari sebagai Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN).

Bukan sekedar sematan apalagi seremonial. Tapi julukan dan peringatan itu memang wajar terjadi, ketika pengolahan sampah masyarakat Bandung (dominan dari makanan), berbuntut hilangnya nyawa hingga 157 orang! Ya, sejarah bangsa dan memori kolektif urang Bandung, takkan lupakan peristiwa longsornya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah, Kota Cimahi, Senin dinihari, 21 Februari 2005 lalu. [1]

Hal ini berimbas Kepala PD Kebersihan Pemkot Bandung Awan Gumilar –bersama dua kepala dinas lingkungan hidup dari Pemkot Cimahi dan Pemkab Bandung– dijadikan tersangka dan dihukum pidana sekalipun hanya hukuman percobaan. [2] Apalagi, dari tiga pemerintah daerah (pemda) yang menjadikan Leuwi Gajah sebagai TPA, sampah Kota Bandung di rangking pertama. Sekilas saja, bandingkan datanya; Rerata harian sampah dari Kota Bandung nyaris 1.200 ton sementara Cimahi 127 ton per hari. [3]

Urang Bandung setiap harinya melakukan timbulan sisa sampah makanan sebesar 0,23 – 2 liter/orang/hari dengan komposisi sebanyak 73% merupakan sampah organik. Mengambil sampel dari food court, Rumah Makan (RM) Padang, RM Sunda, hotel, PKL, RM siap saji, kafe, simpulan riset akademisi Program Studi Teknik Lingkungan ITB tersebut juga menekankan, situasi itu terjadi karena kurangnya kesadaran pemerintah dalam menyediakan fasilitas pengolahan sampah makanan secara khusus serta kurangnya kesadaran masyarakat untuk melakukan pemilahan terhadap food waste. [4]

Lantas, apa yang bisa masyarakat lakukan, alih-alih terus menunjuk hidung pemerintah, dalam menciptakan Bandung food smart city? Apa iya kita tidak bersama membahu memulai dari hal kecil namun nyata ikut berkontribusi menuju Kota Bandung yang bebas sampah makanan? Bisakah warga, minimal satu RT dulu, bergerak bersama menciptakan gaya hidup minim sampah makanan?

Sebagai aktivis warga (Ketua RT 5 RW 2 Sarijadi serta pengurus DKM dan MUI Kelurahan Sukawarna, Kecamatan Sukajadi, Kota Bandung), jawaban atas pertanyaan di atas akan dikupas dalam tindak riil yang sudah dilakukan penulis dan kemudian digenapi dengan sumbang saran untuk eskalasi yang lebih luas.

Pertama, penulis sejak 2 Juni 2020, meletakkan sebuah roda etalase yang bisa disimpan aneka makanan/minuman, beas perelek, hingga buku bacaan dari dan untuk warga. Bernama Roda Amal, sarana ini beranjak dari kesuksesan gerakan Beas Perelek di awal pandemi Maret 2020, yang kala itu menyediakan sebuah ember di depan Lapangan RT yang mempersilahkan warga mengisi beras tanpa standar dan mengambil secukupnya. Selama dua bulan lebih, ternyata bisa terisikan tiap hari rata-rata tujuh liter tanpa tiap rumah didatangi dengan pengambil masih warga sekitar yang kekurangan.

Maka itu, penulis menilai, sarana ini perlu ditingkatkan dengan memesan ke tukang etalase toko agar kotak-kotak dalam roda lebih representatif. Alhasil, beberapa hari setelah roda diletakkan, ada dua UKM di RT yang sambut baik. Yang pertama adalah dari warung kelontongan (Warung Akmal) yang menyimpan jajanan anak, terutama susu kemasan dan kue-kue, yang masa kadaluarsanya mau habis 1-2 bulan lagi. Kemudian, yang kedua adalah dari produsen roti (Roti Londrina), yang juga kemudian rutin seminggu sekali memberikan stok roti yang mereka miliki. Kalau ini tidak yang mau expire, tapi diambil dari roti yang tergolong kurang baik bentuknya dan ada pula roti sempurna karena sang pemilik ingin rutin berinfaq. Kebetulan juga, salah satu distributor perusahaan ternama roti, sempat berkantor di lingkungan RT kami. Mereka pun sama, tak mau ketinggalan untuk ikut beramal, dengan menyisihkan sebagian rotinya, terutama yang mendekati masa habis konsumsi.

Selain warung, ada juga dari warga RT yang rutin menyimpan penganan yang berlimpah di rumah daripada tak ada yang sentuh. Terbanyak dari itu semua, adalah membagikan nasi bungkus di Roda Amal terutama tiap hari Jumat. Memasak skala rumahan itu kemudian dibagikan kepada sesama, tanpa harus repot mencari mereka yang membutuhkan, sehingga tiada makanan bersisa di rumah minimal seminggu sekali. Terlebih lokasi Roda Amal di depan Lapang RT itu sangat strategis karena selain di lapang umum tempat aktivitas olahraga, juga di samping PAUD dan Pasar Cibogo yang sudah eksis sejak tahun 1990-an. Tak sulit mencari yang membutuhkan, sungguh.

Karenanya, dalam catatan penulis, Roda Amal dalam kurun hampir setahun terakhir ini, setidaknya sudah menampung lebih dari 100 liter beras, sudah 44 kali melakukan Roda Amal Jumat Barokah selama 44 minggu, serta menampung berpuluh kali kue/roti/minuman dari dan untuk warga.

Lurah Sukawarna Kecamatan Sukajadi Dr Nana (kanan) dan Sekretaris Lurah Sukawarna berposes bersama di depan Roda Amal yang disimpan di depan Lapang RT 5 RW 2 Sukawarna, baru-baru ini. (Foto: Penulis)

Sumbangan makanan dari dan untuk warga di Roda Amal. Mulai dari minuman, penganan, hingga makanan sehingga terbebas dari sampah sisa makanan (Foto: Penulis)

Usulan penulis terutama kepada sesama aktivis warga, baik RT/PKK/DKM/MUI/Karang Taruna, baik di Kota Bandung dan kota/kabupaten manapun di tanah air, seyogyanya alokasikan dari kas organisasi sosial tersebut untuk membuat semacam Roda Amal. Mungkin bentuknya tak harus berupa roda yang menyedot bujet lumayan Rp2 juta, bisa pula bentuk lain yang lebih terjangkau. Intinya, buat yang keren dan mantap serta mudah diakses, karena pengalaman penulis, manakala sarana sekedarnya (seperti sebuah ember untuk simpan beas perelek), maka yang ingin sumbang pun sedikit. Prinsipnya, kalau ingin mancing yang besar, ya otomatis harus punya umpan yang memadai dan meyakinkan. Dan lebih penting dari itu, konsep Roda Amal ini cocok dengan karakter khas warga perkotaan yang cenderung menjaga sisi kenyamanan personal; Yang akan berbagi tidak merasa “diteror” pemangku wilayah untuk dimintakan sumbangan sementara yang butuh tidak malu untuk meminta.

Kedua, bebas sampah makanan juga bisa dengan memperluas cakupan gerakan bebas sampah makanan ini ke luar RT/lingkungan inti. Manakala Roda Amal sudah mampu berjalan mandiri, maka saatnya untuk membagikan spirit program ini ke RT/RW lainnya, sehingga selain tidak ada lagi sisa makanan dari masakan ibu-ibu di RT, sudah pasti tebaran manfaat pun terjadi sendirinya.

Ini perlu konsistensi dan upaya mengajak warga tak mudah lelah. Pemangku wilayah, baik RT/RW/PKK/DKM dst, harus setidaknya seminggu sekali di WAG komunitas memberi info pentingnya berbagi makanan. Alih-alih masakan di rumah bersisa dan akhirnya dibuang memenuhi Tempat Pembuangan Sampah (TPS) dan TPA, maka ajaklah mereka untuk membungkus beberapa masakan tersebut untuk diberi ke warga membutuhkan di luar RT. Percayalah, ini jumlahnya selalu ada. Paling mudah, yang biasa penulis lakukan, adalah datangi TPS terdekat rumah kita. Setiap harinya, akan selalu ada petugas kebersihan TPS yang bertugas. Baik yang permanen berjaga maupun yang transisit dari Dinas Lingkungan Hidup maupun petugas per RT/RW.

Nah, biasanya di lokasi sekitar ini, demikian banyak wong cilik non petugas TPS yang sekedar nongkrong. Misal pemulung, tukang kopi keliling, emang-emang gorengan, dan banyak lagi masyarakat kurang beruntung. Mereka ini selalu siap dan memang butuh uluran tangan kita sekalipun sekedar nasi bungkus untuk makan siang. Kalau ini dirasa masih kurang, keliling sedikit niscaya sekarang banyak shelter dari sopir motor/mobil transportasi daring. Mereka pun sama, selalu siap menerima pasokan kebutuhan dari kita.

Mau jauh sedikit, niscaya kita bertemu pangkalan tukang gali/pekerja keras, sekuriti perumahan, pedagang keliling, pengemis, gelandangan, dan banyak lagi. Masih merasa kurang teryakinkan, datangi panti asuhan yang kini nyaris ada di setiap kecamatan tempat kita domisili. Semesta kebaikan selalu bisa menemukan semesta yang membutuhkan di negeri ini. Saran penggenapan untuk gerakan ini pun sama, bahwa para pemangku wilayah informal, harus mau memulai sendirian gerakan semacam ini karena kelak warga pun akan terpersuasi. Kalau ini sudah jalan, pemangku wilayah formal bisa buat surat edaran himbauan kepada RW-RW di bawah lingkungannya. Demikian pula dengan Ketua MUI Kelurahan, kumpulkan para ketua DKM dan ajaklah untuk sama-sama bertindak nyata menghindari prilaku setan yakni mubazir dan tahsrif (berlebih-lebihan saat berkonsumsi). Prinsipanya, ada sumbu perpaduan gerakan formal dan informal untuk sama-sama mengoptimalkan masakan rumahan agar tak bersisa menimbulkan masalah lingkungan baru.

Berbagi kelebihan masakan ibu-ibu RT kepada petugas kebersihan seminggu sekali di TPS Sarimadu Barat, Sarijadi, akhir November 2020. (Foto: Penulis)

Agar tak bersisa, kelebihan masakan ibu-ibu RT diberikan kepada petugas keamanan. Sekalipun bertugas di perumahan terelit di Kota Bandung (Setra Duta), mereka semringah menerimanya, awal Februari 2021. (Foto: Penulis)

Selalu ada panti yatim piatu di kecamatan domisili kita, khususnya di kota besar seperti di Panti Yatim Indonesia Sukajadi, awal Ramadhan 1442 H. Usahakan menemukan mereka, maka tak ada sampah makanan di dapur kita! (Foto: Penulis)

Ekspos kegiatan berbagi nasi bungkus di Kompas.com, 15 Mei 2020. (Foto: Penulis)

Pada akhirnya, warga masyarakat di tingkat mikro pun bisa bersama-sama mempraktekkan gaya hidup bebas sampah makanan dari cara paling sederhana. Kita-lah yang memiliki kendali penuh berbasis spirit kebersamaan untuk meminimalisir sampah makanan (food waste) dan gaya hidup minim sampah makanan. Masalahnya adalah kadangkala warga tak tahu bagaimana caranya bertindak secara riil imbas minimnya inisiatif para informal leader di lingkungannya. Alias warga yang peduli ingin donasi tak hafal caranya peduli sekitar, para calon penerima manfaat pun terbatas aksesnya. Maka, stop mengeluh dan menyalahkan, hayu paheyeuk-heyeuk lengeun paantay-antay tangan (berkolaborasi secara intens) menciptakan Bandung food smart city! (**)

Muhammad Sufyan Abdurrahman, Dosen Digital PR FKB Telkom University, Ketua RT 5 RW Sukawarna, dan Wakil Sekretaris MUI Kelurahan Sukawarna

======================

[1] https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-4906289/mengenang-tragedi-longsor-sampah-di-tpa-leuwigajah

[2] https://regional.kompas.com/read/2011/02/21/20382467/~Regional~Jawa

[3] https://www.liputan6.com/regional/read/2843535/luar-biasa-bandung-raya-hasilkan-sampah-1311-ton-tiap-hari

[4] Brigita, Gladys & Rahardyan, Benno. (2013). ANALISA PENGELOLAAN SAMPAH MAKANAN DI KOTA BANDUNG FOOD WASTE MANAGEMENT ANALYSIS IN BANDUNG CITY. Jurnal Teknik Lingkungan Volume 19 Nomor 1, April 2013 (Hal 34-45).


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *