Koperasi Zaman Now untuk Milenial: Jastip dan Grosir Online


Saya lama tak jumpa dengan salah satu pejuang koperasi di Tatar Sunda ini. Pak Dudi, demikian beliau biasa dipanggil. Lengkapnya DR. Dudi Sudrajat Abdurrachim, Asisten Administrasi Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat. Setelah sebelumnya menjadi Kepala Dinas Koperasi Usaha Kecil (KUK) Pemprov Jabar dari tahun 2016 hingga awal Januari 2019 ini. Lama tak jumpa tak berarti pudar semangat, energi progresif selalu mencuat.

“Ini era disrupsi. Tapi kalau saya tanya anak saya, apa yang kamu ketahui soal koperasi? Jawabannya ‘Tempat jual beli perlengkapan belajar dan jajanan di sekolah, Pak.’ Persepsi koperasi khususnya di generasi muda umumnya masih selalu terbatas,” katanya saat ditemui penulis di ruangan kerjanya, Gedung Sate, Kota Bandung, Selasa (15/10/2019).   

Baginya, dengan berbekal pengalaman sebelumnya sebagai Kepala Dinas Kominfo Jabar 2010-2016, situasi tersebut adalah tantangan tersendiri. Pasalnya, untuk segmen eksisting, digitalisasi koperasi mungkin-mungkin saja dilakukan. Dia mencontohkan penerapan sistem Enterprise Resource Planning (ERP) berbasis teknologi informasi komunikasi (TIK) pada Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan mulai 2016 lalu.

Koperasi yang berdiri sejak tahun 1969 dengan 4.500 anggota peternak susu sapi itu nyaris limbung dilindas zaman. Kecurangan pada lini produksi dan distribusi menyebabkan perkembangan koperasi jalan di tempat.

Bayangkan saja. Kebocoran produksi-distribusi per hari akibat ulah oknum nakal bisa sampai 200 liter susu perah! Setelah ERP diterapkan, dengan pengelolaan hingga 85 ton susu perah, kebocoran bisa ditekan hanya antara 5 hingga 10 liter saja.

Hal ini terjadi berkat hadirnya integrasi sistem perencanaan, program, dan keuangan KPBS. Wujudnya berupa aplikasi pada ponsel cerdas berbentuk data penerimaan susu dari anggota/peternak melalui Milk Collection Point Mobile (MCP) dan Milk Collection Point Mobile (MCP-M), digitalisasi pendistribusian barang pakan, digitalisasi pelayanan kesehatan hewan, serta digitalisasi informasi pendapatan dan simpanan anggota.

Saya lalu bertanya, seperti apa contoh konkrit ERP bagi peternak susu sapi ini. Lalu sigap beliau menjawab, peternak saat membawa susu ke koperasi akan ditimbang secara digital. Begitu angka di timbangan muncul, saat itu juga muncul angka pada smartphone-nya.

“Peternak saat itu juga langsung tahu pendapatan dari produksi susu yang dibawanya. Ini direkap dalam aplikasi MPCB tadi, sehingga kian memudahkan mereka menjalankan usahanya. Secara organisasi, trust makin tinggi dari anggota ke pengurus koperasi karena sistem keuangan yang selalu sensitif di koperasi, semuanya jadi serba transparan,”paparnya.

Keterbukaan bisnis dari hulu ke hilir antara koperasi dengan anggotanya membuat semua pihak bekerja nyaman dan makin giat. Imbasnya banyak. Pertama, anak-anak peternak sapi yang tadinya enggan meneruskan pekerjaan peternak orangtuanya, kembali meneruskan pekerjaan tersebut. Peternak sapi pada koperasi zaman now itu keren.

Kedua, sambung Pak Dudi, ERP tak hanya menyejahterakan ribuan peternak sapi perah di sentra susu terkenal itu. Lebih dari itu, kini KPBS bisa mengembangkan bisnisnya justru di era persaingan kian ketat. Tercatat, koperasi kini sudah bergerak menjadi holding Bank Perkreditan Rakyat (BPR), perusahaan olahan susu (keju, butter, yoghurt, wiping cream, dan susu pasteurisasi kemasan), klinik kesehatan, hingga membuka rumah makan. Tak hanya itu. hingga pertengahan 2017 lalu, KPBS Pangalengan ini beromzet Rp 270 Miliar dengan total aset dimiliki mencapai Rp 112 Miliar!

Maka, saya menilai memang menjadi tidak berlebihan ketika kemudian KPBS Pangalengan memperoleh Tanda Kehormatan Satyalancana Wirakarya langsung dari Presiden Jokowi saat Puncak Hari Koperasi Nasional (Harkopnas) ke-70 Tahun 2017 di Lapangan Karebosi, Jl. Ahmad Yani Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan, Rabu (12/7/2017).

Pencapaian ini, memang, kontras dengan komparasi umum data koperasi. Di Jawa Barat sendiri, dari total 25.397 koperasi terdaftar di Dinas KUK Provinsi Jabar sebagaimana dilansir Badan Pusat Statistik (BPS)[1], ternyata separuhnya tidak aktif/tak pernah Rapat Akhir Tahunan (RAT) sebagaimana dinyatakan Kepala Dinas KUK Provinsi Jabar Kusmana Hartadji[2].

Demikian pula dengan data di Indonesia. Hingga 2016, jumlah total koperasi-nya nyata terbesar di dunia yakni kisaran 209.000 namun lagi-lagi yang tak aktif separuhnya, sehingga koperasi aktif pada 34 provinsi versi BPS adalah 148.220 unit[3].      

Meletakkan Fondasi Koperasi Milenial

Selain ERP, digitalisasi koperasi yang pernah dilakukan Pak Dudi saat masih di KUK adalah membuat aplikasi RAT daring yang bisa digunakan koperasi-koperasi di Jabar secara gratis. Antara lain bertumpu fitur VMeet (video conference), maka elemen koperasi bisa lakukan rapat tahunan itu tanpa perlu sulit mengumpulkan semuanya. Puncaknya, aplikasi ini diganjar penghargaan Rekor MURI sebagai “Koperasi Pertama di Indonesia Yang Menggunakan Aplikasi RAT TIK dengan Video Teleconference” saat  Harkopnas ke-71 Tingkat Jawa Barat di Lapang Karang Pawitan, Karawang, Jum’at, (27/7/2018)[4].

Pertanyaannya kemudian, jika pada pelaku koperasi eksisting, digitalisasi bisa dilakukan dengan cukup agresif, lantas bagaimana caranya kepada generasi milenial? Bagaimana caranya menghapus kesan jadul kuno koperasi sekedar jualan buku, pensil, dan jajanan sekolah? Hmm, ini tentu perlu riset ….

Saya kemudian mempelajari sejumlah data dari Lembaga Riset Telematika Sharing Vision, Bandung, yang sudah berdiri sejak 19 tahun lalu. Menariknya, setelah awalnya menjadi bagian riset afiliasi Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) ITB, Sharing Vision lantas berdiri sendiri dan kini digawangi para penggawa milenial: CEO Ali Akbar berusia 32 tahun serta Chief Digital E-Commerce Fintech Nur Islami Javad 30 tahun. Keduanya memberikan data riset bertajuk “Survei ABCDEFGH Sharing Vision atas Tren Menghadapi Revolusi Industri 4.0[5] pada 5 Oktober 2019 lalu.

Ada sejumlah data menarik dan relevan yang saya peroleh dari riset mereka. Pertama, saat ini kita sudah berada di era yang hampir penuh berbasis teknologi digital setelah sebelumnya di era revolusi industri. Dari sisi ekonomi, teknologi digital yang makin berkembang mau tidak mau memaksa manusia juga untuk berubah, termasuk dalam bisnis layanan keuangan.

Pada penerapan bisnis, digitalisasi adalah melakukan transformasi proses bisnis, fungsi, dan model untuk diaplikasikan pada teknologi digital. Sederhananya, digitalisasi bisnis merupakan proses transformasi bisnis dari konsep konvensional menjadi virtual, meliputi proses transaksi dan penerapan sistem perusahaan.

Kedua, digitalisasi tersebut merupakan awal dari era revolusi industri 4.0. Yakni revolusi berbasis tren disrupsi/inovasi-inovasi yang mengakibatkan yang lama jadi berubah bahkan tergusur serta memunculkan cara-cara baru. Dibandingkan tiga revolusi sebelumnya, revolusi industri 4.0 membawa perubahan ribuan kali lebih cepat.

Revolusi ini merubah konsep Internet of people dari revolusi industri 3.0 menjadi Internet of People and Thing. Dalam bahasa lain, akan hadirnya sistem siber fisikal atau perubahan dari digitalisasi menjadi phydigital (physical digital). Yakni suatu sistem yang dapat menghubungkan dunia nyata (physical) dengan layanan virtual para perangkat digital. Jadi, sistem yang dibangun merupakan kombinasi perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software) yang bersifat interaktif, atau dapat menerima rangsangan dari lingkungan luar dan merespon balik.  

Menurut Ali Akbar, dengan perubahan-perubahan ini, maka mereka yang akan sukses mengarungi revolusi industri mutakhir tersebut adalah yang bisa menggabung ekosistem people and thing dalam suatu rantai nilai ekonomi dan sosial yang bermanfaat. Pemenang adalah yang mampu menggabungkan empat elemen penting phydigital yakni Jalur Informasi, Jalur Barang, Jalur Jasa, dan Jalur Transaksi. Hal yang kini, kita menjadi saksi bersama, demikian kuat dilakukan perusahaan semacam GoJek, Tokopedia, dan Alibaba.

Ketiga, 82,36% desa sudah terhubung ke layanan 4G per Juni 2019 dan ditargetkan 100% wilayah di Indonesia menikmati 4G di akhir 2019. Maka, proyeksi pasar seluler di Indonesia diprediksi mencapai Rp 182 triliun (kontribusi layanan data dan internet sebesar 61%) dengan penetrasi smartphone 92% pada 2023 nanti.

Keempat, penerapan dan investasi big data dan cloud computing terus meningkat. Lembaga–lembaga keuangan tidak hanya menggunakan data internal perusahaan, tetapi juga dari data pasar dan data alternatif yang legal. Beberapa startup besar di Indonesia sudah menggunakan cloud computing. Manfaat yang diharapkan membawa produk baru ke pasar lebih cepat dari sebelumnya, mengerjakan lebih banyak hal dengan lebih sedikit usaha, menciptakan keluwesan, scalability, keandalan, dan keamanan. Namun demikian, isu keamanan menggelayuti kedua teknologi ini. Terbukti ada kasus fintech pinjaman ilegal yang bisa meretas big data bersifat privasi pengguna Gojek, Grab, dan Tokopedia pada 22 Juli 2019. Demikian pula kasus diretasnya layanan cloud computing berisikan puluhan juta data pelanggan dua maskapai penerbangan yang dikelola Lion Air (Malindo Air dan Thai Lion Air) yang bocor (Data KTP, alamat, nomor telepon, dan nomor paspor) di sebuah forum online pada 18 September 2019.    

Kelima, pertumbuhan rata-rata nilai per transaksi anjungan tunai mandiri (ATM) per tahun turun bahkan negatif. Pada 2018 – 2019 turun 0,4%. Dari 106 juta Mesin ATM eksisting, jumlah pertumbuhan mesin melorot tiap tahunnya. Ada memang 17,3 juta kartu kredit,  namun setali tiga uang, pertumbuhan jumlah kartu kredit pun mulai stagnan.

Di sisi lain, ada 27,4 juta pengguna internet banking dengan nilai transaksi terus mekar tiap tahunnya. Terdapat 54 juta pengguna mobile banking yang juga pertumbuhan nilai transaksinya naik terus. Kemudian, ada 250 juta eMoney beredar, 700 ribu reader, dan 38 penyelenggara eMoney berlisensi.

Belum cukup sampai sana. Indonesia kekinian sudah empat bank full digital banking (Jenius by BTPN, Digibank by DBS, Permata Mobile X by Permata bank, dan D-Bank by Danamon) dengan jumlah penggunanya juga terus meningkat.

Keenam, jumlah financial technology (fintech) di Indonesia yang terdaftar dan berizin semakin bertambah. Nilai transaksi dan investasinya juga terus meningkat. Terdapat 127 perusahaan fintech terdaftar di OJK hingga Agustus 2019 dan 58 Fintech dari berbagai kategori terdaftar di BI. Hingga akhir 2018, total transaksi industri Fintech P2P lending mencapai Rp 26 triliun. Mayoritas masyarakat menggunakan fintech dari OVO dan Gopay.

Ketujuh, preferensi pembelian tiket bioskop secara daring dan belanja grosir secara daring meningkat 3 kali lipat dibanding tahun 2017. Transfer menjadi metode pembayaran favorit dalam berbelanja secara online, kemudian disusul melalui eMoney milik marketplace.

Go-Jek dengan GoPay-nya sudah termasuk Banking 4.0 berkat kesuksesan besar mereka dalam bidang payment (transaksi kecil). Kini, GoPay dapat digunakan pembayaran menggunakan QR Code di lebih dari 20 ribu merchant, dan telah berkontribusi 50% terhadap transaksi GoJek. Nilai pendapatan kotor tahunan GoPay mencapai $ 6,3 miliar!

Opsi-opsi Koperasi Zaman Now untuk Generasi Milenial

Saya lalu mempelajari betul dengan digitalisasi di KPBS beserta hasil riset Sharing Vision. Tentu, tak ketinggalan, tujuh prinsip utama koperasi menjadi konsideran[6] terutama pada selaras dengan tren digitalisasi dan karakter generasi milineal. Dari tujuh prinsip yang digariskan UU No.25/1992 tentang Koperasi (Prinsip Sukarela Terbuka, Pengelolaan Demokratis, Pembagian SHU Adil, Balas Jasa Terbatas Pada Modal, Kemandirian, Kerja Sama antar Koperasi, dan Pendidikan Perkoperasian), saya mengaitkan tren digitalisasi dan karakter generasi milineal pada prinsip Sukarela Terbuka, Kemandirian, Kerjasama, dan Adil. Karenanya, inilah sejumlah opsi-opsi koperasi zaman now untuk generasi milenial:  

Pertama, koperasi penyedia jasa titip (jastip) secara daring untuk barang oleh-oleh khas daerah dan atau jastip barang impor dan diskon. Generasi milenial adalah generasi senang bepergian (travelling), eksploratif dan lebih ekspresif, sekaligus multi-languages[7]. Karenanya, travelling ke daerah lain di dalam negeri, dan apalagi ke luar negeri, menjadi salah satu kesukaannya. Bahkan, minat bepergian ini lebih tinggi dari kepemilikan properti atau kendaraan, sehingga generasi milenial disebut banyak pihak sulit memiliki rumah. Kementerian Keuangan secara khusus menyebut penyebabnya perubahan gaya hidup, terutama memperoleh pengalaman baru dengan travelling dibandingkan punya hunian[8].      

Travelling juga menjadi perwujudan karakter lainnya yakni hakekat hidup itu selalu yakin, optimistik, percaya diri, menginginkan kesederhanaan, dan segala segala sesuatunya serba instan.[9] Hal ini selaras dengan hasil penelitian lainnya dari firma konsultan, BCG (Boston Consulting Group)[10] yang menyebutkan karakter mereka itu impatient/tidak sabaran sekaligus image driven/jaga citra. Namun di sisi lain, mereka juga technology reliant atau percaya teknologi; open to change (terbuka pada perubahan); adaptable (mudah beradaptasi), multitasking (serba bisa); team-oriented (berorientasi tim); serta information rich (kaya informasi).

Karena itulah, koperasi jastip daring tersebut mengakomodir seluruh karakter generasi milenial tadi, sekaligus di sisi lain sejalan dengan data temuan kesuksesan KPBS maupun hasil riset Sharing Vision. KPBS Pangalengan mendigitalisasi proses konvensional, sehingga para pihak merasakan peningkatan kenyamanan, pun demikian dengan koperasi jastip online yang memungkinkan masyarakat yang menitip maupun pihak yang dipercaya jastip saling percaya satu sama lainnya dengan perantaraan teknologi. Koperasi jastip daring juga menjadi manifestasi survey Sharing Vision tentang terus menggeliatnya tren belanja online di tengah makin meluasnya layanan 4G operator seluler; Meluasnya keberadaan phydigital/ketersambungan dunia fisik (lokasi travelling) dengan layanan virtual di gawai pada era kolaborasi; Makin masalnya konsep internet of thing and people, manakala layanan digital tak lagi sekedar menyambungkan dengan perangkat lunak namun juga dengan masyarakat (pelaku travelling dan konsumen jastip).

Seluruhnya ini tetap dalam balutan prinsip-prinsip utama koperasi yang relevan yakni Sukarela Terbuka, Kemandirian, Kerjasama, dan Adil. Sukarela terbuka bermakna koperasi membuka diri bagi siapapun untuk mendaftar menjadi anggota koperasi yang siap menyediakan layanan jastip sejauh memenuhi syarat formal anggota koperasi, demikian pula terbuka bagi masyarakat siapapun dan manapun yang butuh layanan jastip. Kemandirian dimaknai koperasi jastip akan dan terus berusaha bertumpu pada kekuatan anggotanya, seluruh proses bisnis ditumpu kemampuan berdikari dalam memberikan jasa layanan jastip profesional dan handal. Kerjasama berarti koperasi jastip daring membuka ruang kolaborasi seluas-luasnya serta menekan kompetisi secara sempit, sehingga cakupan layanan bersinergi dengan penyedia fintech, full digital banking, banking 4.0, hingga sesama koperasi di Indonesia. Sementara adil artinya adalah perlakuan yang etis dan setara dalam segala aspek, terutama dari sisi bisnis dan perlindungan atas data pribadi konsumer yang dikelola secara big data dan cloud computing.

Koperasi jastip daring juga berusaha menonjolkan nilai khas koperasi sekaligus generasi milenial yang cenderung lebih senang bekerja secara tim serta intens berbagi pemikiran sekalipun relatif mandiri dan terstruktur dalam penggunaan teknologi. Gotong royong dalam memberikan pelayanan jasa mutakhir namun selalu terkoneksi balutan digitalisasi dan sentuhan revolusi industri 4.0.

Kedua, koperasi penyedia daring kebutuhan grosir generasi khusus milenial dan termasuk ibu-ibu. Manakala era phydigital, apapun yang kita butuhkan bisa diakses secara online dan bisa seketika bisa langsung diantarkan sampai di depan rumah. Termasuk di dalamnya adalah aneka kebutuhan sehari-hari atau fast moving yang transaksinya tinggi dan berulang-ulang.

Lebih dari itu, koperasi penyedia daring kebutuhan grosir ini tak sekedar menjalankan fungsi dari kategori koperasi konsumsi. Akan tetapi juga merangkap sebagai koperasi serba usaha dengan menjalankan fungsi koperasi produksi dalam bentuk penyediaan bahan baku masakan setengah matang/matang oleh anggotanya untuk dijual secara online kepada generasi milenial tadi.   

Dengan rentang usia tengah produktif-produktifnya[11], yakni antara 15 tahun hingga 34 tahun dan atau kelahiran tahun 1980-2000, maka generasi milenial adalah mereka yang mayoritas tengah sibuk-sibuknya membangun karir khususnya pada pekerjaan-pekerjaan pertama (first job) mereka. Di sisi lain, umur produktif ini berbarengan dengan usia mereka mulai menikah, memiliki anak, dan seterusnya. Alhasil, generasi milenial tak punya cukup waktu untuk memasak, sehingga koperasi penyedia daring kebutuhan grosir ini menjadi sebuah kebutuhan yang niscaya.

Koperasi jastip menghimpun anggotanya yang bisa menyediakan bahan produksi grosir dari mulai hasil alam hingga kebutuhan keseharian toilet, sekaligus juga mengelola anggotanya yang memiliki bakat tata boga guna memproduksi makanan/minuman terbaik –baik setengah matang/matang.

Potensi hal ini juga sudah tak memakan biaya operasional setinggi sebelumnya. Sebab, pada era phydigital sekarang, koperasi bisa benar-benar fokus menyediakan layanan intinya sementara layanan pendukung –dari mulai distribusi melalui ojek online, pembayaran melalui fintech/eMoney/internet banking, hingga manajemen data melalui big data/cloud computing— bisa disinergikan dengan mitra lainnya.

Bagi saya, dua Opsi ini, rasanya, tidak ngawang-ngawang. Merujuk kesuksesan global semacam Ali Baba dan GoJek, juga success story terbaru dari KBPS Pangalengan, maka menciptakan posisi koperasi zaman now yang akrab dengan milenial dan sekaligus sukses berbisnis, bukan sekedar mimpi di siang bolong. Ayo, kita bisa!  


[1]https://jabar.bps.go.id/statictable/2018/04/03/532/jumlah-koperasi-kud-dan-non-kud-menurut-kabupaten-kota-di-jawa-barat-2018.html (Diakses 17 Oktober 2019, jam 09;24) 

[2]https://www.pikiran-rakyat.com/ekonomi/2019/07/29/4000-koperasi-di-jabar-dibubarkan (Diakses 17 Oktober 2019, jam 09:26) 

[3]https://www.bps.go.id/statictable/2014/01/15/1314/jumlah-koperasi-aktif-menurut-provinsi-2006-2016.html (Diakses 17 Oktober 2019, jam 08:38)

[4] https://www.karawangkab.go.id/headline/acara-puncak-hari-koperasi-ke-71-tingkat-provinsi-jawa-barat-tahun-2018-resmi-dibuka-di (Diakses 17 Oktober 2019, jam 09:52)

[5] Akbar, Ali. Nur Islami Javad. (2019). Survei ABCDEFGH Sharing Vision atas Tren Menghadapi Revolusi Industri 4.0. Bandung: Sharing Vision

[6] https://muamala.net/prinsip-koperasi/ (Diakses 17 Oktober 2019, jam 11:30)

[7] Sutijono, Dimas Ardika Miftah Farid (2018:24). Cyber Counseling di Era Generasi Milenial. Sosiohumanika: Jurnal Pendidikan Sains Sosial dan Kemanusiaan,Volume 11(1), Mei 2018.

[8] https://bisnis.tempo.co/read/1043715/kemenkeu-sebut-alasan-generasi-milenial-sulit-punya-rumah-pribadi/full&view=ok (Diakses 17 Oktober 2019, jam 14:38)

[9] Ayun, Primada Qurrota. (2015:1-16). “Fenomena Remaja Menggunakan Media Sosial dalam Membentuk

Identitas” dalam Channel, Vol.3, No.2, Oktober 2015.

[10] BCG [Boston Consulting Group]. (2011). Millenials: A Potrait of Generation Net. Berkeley: University of Berkeley and BCG

[11] Sutherland, A. & B. Thompson. (2001). Kidfluence: Why Kids Today Mean Business. USA [United States of

America]: McGraww Hill Ryerson Limited.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *