Membahas Organisasi Dakwah


Judul: Institusi Dakwah Kajian Elementer
Penulis: Dr Acep Aripudin & Dr Zaenal Mukarom
Penerbit: PT Remaja Rosdakarya, Bandung
Cetakan: Januari 2021
Halaman: 202
ISBN: 978-602-446-520-9
Harga: Rp62.000

Selain karena momen bulan Romadhon, buku religi gurih dibaca karena praktek keagamaan demikian dinamis. Terbaru, kita masih ingat, ada relasi konten dari pelaku Bom Gereja di Makassar dan penyerangan di Mabes Polri, baru-baru ini.

Ini pertanda, sekalipun publik menyebut mereka lone wolf alias beraksi sendirian, sesungguhnya ada institusi dakwah yang mendoktrin mereka. Tanpa organisasi, barangkali nyali mereka ciut minimal ragu-ragu memusnahkan dirinya atas nama agama.

Kita juga bisa melihat betapa pengecut pemimpin organisasi yang mencuci otak generasi muda tersebut. Alih-alih berjuang sendiri mempraktekkan keyakinannya, ini hanya bisa memanipulasi pikiran polos nan menggebu-gebu khas generasi muda.

Pada salah dua alasan itulah, buku ini relevan ditelaah. Terlebih ada sebuah kaidah menyebutkan, albatil bin nidhom yaglib alhaq bin nidhom (kebatilan yang terorganisasi akan mengalahkan kebenaran yang tidak terorganisasi). Kita, masyarakat Indonesia, sudah kenyang menjadi saksi praktek kaidah tersebut dari praktek terorisme minimal dalam 15 tahun terakhir ini.

Pada prinsipnya, sebuah kelompok berkembang menjadi institusi dakwah, antara lain karena punya visi misi, tertulis di AD/ART, ada bukti tertulis dari gagasan di kelompok, konkrit berdakwah, dan memiliki ideologi. Satu hal yang penting juga adalah nyata adanya kaderisasi dalam merespon dan merencanakan dakwah.

Maka itu, terkhusus jika merujuk adanya regenerasi tersebut, selain tentu ada contoh negatif, kita pun lebih banyak melihat bukti positif dari praktek dakwah institusional di Indonesia bahkan dunia. Jangan pula kemudian nila setitik rusak susu sebelangga terkait keberadaan institusi dakwah ini.

Ibnu Khaldun, cendekia agung Muslim yang dikagumi pemuda terkaya di dunia, Mark Zuckerberg (pemilik FB, WA, dan IG), bahkan khusus menyoroti soal kehadiran institusi tersebut. Menurutnya, bukan negara apalagi takdir yang memajukan dan memundurkan sebuah masyarakat, akan tetapi peran solidaritas kelompok masyarakat di dalamnya.

Teori shabiyah alias solidaritas berdasarkan kesamaan identitas dari Ibnu Khaldun menjadi penentu dari ketiadaan menjadi eksis. Akan tetapi, manakala ashabiyah kemudian “salah gaul” semisal dibuai kemewahan materi atau bahkan konsep mesianism (penyelamat dunia), maka nilai destruksi yang akan mencuat dari nilai manfaatnya.

Di sisi lain, menurut duo penulis buku dari Prodi Komunikasi Penyiaran Islam UIN Bandung tersebut, ashabiyah pula yang gilirannya menciptakan ketidakpuasan pada institusi dakwah peninggalan. Muncullah berbagai elemen organisasi dakwah baru dengan pelbagai variasinya.

Beranjak dari situasi-situasi tersebut-lah, maka konten utama buku ini mengupas institusi-institusi dakwah mapan baik secara global maupun nasional. Global antara lain HTI, Jama’ah Islamiyah, Jama’ah Tabligh, hingga Ahmadiyah.

Sementara yang nasional antara lain dibahas NU, Muhammadiyah, At-Tarbiyah (cikal bakal PKS), dan PUI/Persatuan Umat Islam. Kedua kelompok ini dituliskan dengan pendekatan apa yang sudah dan sedang terjadi oleh mereka di tanah air, sehingga membacanya pun dekat dan membumi.

Lantas, mengapa buku ini jadi lebih penting dari sumber serupa lainnya? Yang utama tentu pembahasannya sangat akademis, semua berbasis data fakta serta sumber teori maupun observasi yang valid.

Terasa tidak ada ghiroh berlebihan saat menulis hingga kerap jadi bias, akan tetapi disajikan secara dingin dan imparsial. Mulai dari sisi pendahuluan gerakan, sejarah, ritual, pendalaman gerakan, dan dipungkasi oleh simpulan. Karenanya, cocok ditelaah bagi yang berusaha mengkaji gerakan dakwah di Indonesia secara obyektif.

Sedikit kekurangan terletak di bab-bab awal, yang mana kekurangan minor dari sisi penulisan (editorial) maupun substansi, membuat kening sedikit berkerung. Hal yang sudah familiar oleh penulis dibahas tanpa intro cukup kepada pembaca khususnya yang awam.

Pun demikian, sebagaimana buku-buku magnum opus luar serupa seperti Covering Islam (Akbar S. Ahmed), The Venture of Islam (Marshal Hodgson), dan Preaching of Islam (T.W.Arnold), maka buku ini pun menegaskan Islam memang agama dakwah sejati. Sebagaimana kita sangat rasakan dalam beberapa hari fase awal bulan puasa ini. (Muhammad Sufyan Abd, Dosen Digital PR FKB Telkom University, Doktor Agama dan Media UIN Bandung)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *